Friday, April 2, 2021

Teror Bunuh Diri Dan Jalan Pintas Spiritual

Istilah jalan pintas spiritual (spiritual bypass) mula-mula diperkenalkan oleh John Welwood pada 1984, yang mengacu kepada penyalahgunaan spiritualitas sebagai pelarian dari masalah psikologi yang tengah dihadapi seseorang. Jadi, jalan pintas spiritual ini merupakan bentuk pengalihan yang membuat seseorang menghindari berhadapan dengan rasa sakit, kesulitan hidup, dan kebutuhan untuk tumbuh. Banyak manusia tidak cukup toleran untuk menghadapi, masuk ke dalam, dan memroses luka. Sebagian mereka memilih mematikan rasa sebagai solusi yang tampak lebih mudah.

Jalan pintas spiritual bisa diejahwantakan dengan berbagai cara: hasrat berlebihan untuk mengendalikan dan menghakimi orang lain (sindrom “dasar bid’ah, sesat, kafir, riba, penghuni neraka!”), kurang memiliki tanggung jawab personal, represi emosi, obsesi terhadap ritual, dan narsisisme spiritual (bisikan ego "saya sudah mendapat hidayah" atau "saya sudah syar’i").

Jalan spiritual yang salim melibatkan kesadaran dan penerimaan terhadap realitas saat ini. Sebaliknya, para pelakon jalan pintas akan menyangkal sejumlah pengalamannya sendiri. Misalnya, pelakon jalan pintas mungkin terobsesi dengan ritual karena sebelumnya sangat lama tenggelam dalam gaya hidup duniawiyah yang profan. Jadi, orang ini menggunakan ritual sebagai wahana menghukum dirinya (bawah sadar), bukan sebagai latihan atau suluk untuk meningkatkan level kesadaran transendental, kebijaksanaan, serta memperluas kasih. Dia menolak menerima realitas kehidupan hura-hura sebagai bagian dari perjalanan hidupnya.

Kenarsisan Spiritual

Terkait kasus teror bunuh diri di Makassar dan Jakarta baru-baru ini yang tak merenggut nyawa siapa pun kecuali pelakunya, tentu ada banyak sudut pandang untuk menjelaskan motif pelaku. Saya sendiri lebih leluasa untuk membahasnya dari sisi perilaku dan latar keluarga, dengan melihatnya sebagai jalan pintas spiritual tadi. Tulisan ini berangkat dari informasi dari media, termasuk surat wasiat dari pelaku (Lukman dan Zakiah).  Sebetulnya, untuk melihat lebih dalam, kita membutuhkan data lebih detil terkait riwayat pelaku, termasuk genogramnya.

Yang pertama perlu dicermati adalah lelakon jalan pintas spiritual tak bisa dilakukan kecuali dengan merepresi emosi (misalnya dengan mengatakan, "Tak bahagia di dunia fana tak mengapa, yang penting happy di dunia lain") atau dengan menghindari pemrosesan luka (menyangkal dengan kalimat, "Saya baik-baik saja kok."). Selain itu, pelakon juga biasanya menyalahgunakan narsisisme spiritual, yang dilakukan untuk memberikan rasa aman. "Sejak migrasi ke jalan Tuhan, kesulitan datang bertubi-tubi; aku menangis bukan karena sedih, tapi karena melihat bukti cintaNya dengan didatangkannya berbagai ujian ini." Yang sebetulnya terjadi, bisa saja, adalah dia berprasangka buruk kepada Tuhan bahwa Dia seperti orang tua kejam, yang mengatakan, “Papa itu marah karena sayang sama kamu!” Jadi, sayang tapi marah-marah, cinta tapi menyulitkan; di mana logikanya?

Ketika seseorang mendaku agama atau spiritualitas sebagai bagian terpenting dari kehidupan dirinya, kita perlu selanjutnya melihat apakah ada perasaan yang direpresi atau kenarsisan. Jika keduanya terkonfirmasi ada pada orang tersebut, gejala dia melakukan jalan pintas spiritual patut menjadi perhatian. 

Baik Lukman maupun Zakiah terkonfirmasi DO dari kampus. Lukman adalah anak yatim sejak usia 5 tahun dan dikenal penyabar—orang awam bisa saja tak bisa membedakan antara penyabar dan mati rasa. Sementara itu, Zakiah dikenal sebagai perempuan berkepribadian pendiam dan tertutup, lebih-lebih sejak tak lagi menyandang status mahasiswa—orang awam juga sangat mungkin tak dapat membedakan antara tertutup dan represi emosi. Zakiah beberapa kali memosting doktrin jihad ISIS di grup WA keluarga—dan tidak ada tindakan dari anggota keluarga, yang berarti dia diabaikan; apalah beratnya ketika kehadiran kita tak diharap lalu memilih pergi? 

Sementara itu, di antara ciri penyalahgunaan narsisisme spiritual adalah delusi telah mencapai maqam tertentu secara spiritual (bandingkan dengan Robert Augustus Masters, 2010). Padahal, spiritualitas yang otentik tidak muluk-muluk, tak terburu-buru (bertahap), dan bukan pelarian dari masalah pribadi. Informasi yang kita terima dari media tentang latar belakang kedua peneror maut tersebut menunjukkan tanda-tanda kedua pelaku memiliki persoalan hidup yang tak mudah.  

Pada kasus Lukman dan Zakiah, ciri-ciri kenarsisan spiritual sangat tampak. Mari kita lihat penggalan surat Lukman, pelaku bom bunuh diri di komplek gereja Katedral Makasar, "Ummy sekali lagi minta maaf ka, ku sayang sekali tapi Allah lebih menyayangi hambanya. Makanya saya tempuh jalanku sebagai mana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan ki dan bisa ki kembali berkumpul di surga." Identifikasi bom bunuh diri sebagai jalan Nabi terlalu silap untuk dinalar dan sama sekali bertolak belakang dengan berbagai riwayat yang sampai kepada para pelajar agama yang belajar secara tertib. Dari mana dia tahu Allah lebih suka dia mati daripada hidup bersama ibunya; atau, sebetulnya dia memilih mati hanya karena ingin segera lari dari kehidupannya yang sempit sejak kecil? 

Tak berbeda dengan pesan Lukman, surat wasiat Zakiah Aini menyebutkan, " ... Makanya Zakiah tempuh jalan ini sebagaimana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan Zakiah dan dengan izin Allah bisa memberi syafaat untuk Mama dan keluarga di akhirat." Dia juga menyebut jihad sebagai ekspresi tauhid tertinggi—bandingkan dengan konsep maqamat dan ahwal dalam tasauf yang sama sekali tak menyinggung jihad (dengan makna perang/membunuh) sebagai indikasi kualitas spiritual seseorang. Terlalu naif jika kita membayangkan gaya “berperang” dengan mondar-mandir menodongkan pistol dan tak menghasilkan apa-apa selain tewasnya diri sendiri sebagai jalan para nabi—equivalensi keliru sebab ketidakmampuan bernalar.

Zakiyah adalah bungsu dari enam bersaudara. Jika melihat relasinya di keluarga, sebagai mahasiswa DO pengangguran, dia tentu belum bisa memberikan apa-apa bagi keluarganya (terkait sistem memberi-menerima di keluarga, sila baca Hellinger 1998). Jalan pintas bagi situasi ini adalah fantasi memberi syafaat atau pertolongan masuk surga, seolah-olah dia tahu bahwa keluarganya bakal mencicipi neraka (mungkin karena mereka dianggap bersikap tak sesuai harapannya) sehingga membutuhkan bantuannya untuk membuka pintu firdaus. Gadis ini ingin menebus dengan sesuatu yang muluk, yang tak mungkin diberikan kakak-kakaknya—perlu ditelusur lebih lanjut tentang riwayat apakah dia sering dibanding-bandingkan dengan saudara yang lain. Selanjutnya, baik Lukman atau Zakiah gagal membedakan antara ajaran agama dan tuntunan sekte.

Untuk menghindari spiritualitas gadungan seperti ini, jika menghadapi masalah, kita perlu memahami prosedurnya, yaitu: (1) jangan lari darinya, (2) kita tak bisa menentukan sepenuhnya bagaimana masalah akan teratasi, dan (3) kita harus siap mengalami apa pun konsekwensi dari tindakan/keputusan yang sudah kita ambil. Jika ketiga prosedur ini kita abaikan, masalah akan tetap ada di sana, dan semua bentuk pengalihan (spiritual, alkohol, sabu, cimeng, makanan, lem, pornografi, atau seks) hanya akan memberikan penyelesaian semu atau bahkan palsu.

Dhuha Hadiyansyah, Sekolah Rekonsiliasi - IofC Indonesia