Sunday, December 18, 2022

Sumber: Freepik.com

 

“Why was there a conflict? How do I ended up in these situations?”

Selama 9 tahun terakhir, pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap kali muncul dibenak saya. Kadang terdesak untuk segera dijawab, kadang saya merasa jawabannya sangat beragam, sehingga saya sulit mendeksripsikannya. Kurasa semua ini berawal dari masa “kejayaan” keluarga kami yang mulai runtuh 11 tahun yang lalu.

Ketika ayah memutuskan untuk pensiun dini dari perusahaanya. Mulai dari sana, hidup keluarga kami berubah hampir 180 derajat. Karena alasan pendidikan, akhirnya saya dan kakak saya memutuskan untuk tetap tinggal di Sulawesi, dengan harap setelah lulus akan kembali ke orang tua kami. Ibu dan ayah memutuskan untuk membuka lahan dan bercocok tanam di Aceh, tanah kelahiran ibu dengan membawa adik kembar kami. 

Dua tahun awal semenjak berpisah dari orang tua sebenarnya berjalan cukup lancar, karena kami diasuh dengan cukup baik oleh sahabat ibu selama disana. Namun semua konflik mulai muncul ketika saya melanjutkan studi sekolah menengah atas di Surabaya. Tempat keluarga dari pihak ayah menetap. Singkat cerita. Eyang putri mengasuhku dan menyekolahkanku. Pihak keluarga di Surabaya merasa karena kemampuan ekonomi orang tua kami yang saat itu sangat menurun maka lebih baik untuk saya diasuh oleh mereka saja.

Waktu itu umurku masih 12 tahun, tidak mengerti apa-apa, hanya mengikuti alurnya saja. Ternyata tinggal dengan eyang putri dan keluarga ayah lainnya membuka luka-luka lama. Luka eyang putri atas keluarga kami secara langsung dan tidak langsung ditumpahkan kepadaku. Amarah dan konflik yang tak selesai dengan ibuku, dampaknya diberikan kepadaku. Mungkin posisi yang bisa kugambarkan diriku selama tinggal disana adalah menjadi “pembantu”. Mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah, dituntut tidak boleh melakukan kesalahan.

Sekali melakukan kesalahan maka nama orang tuaku-khususnya ibu- akan terus disangkut pautkan. “Tidak becus” dan “tidak sopan” sudah hampir menjadi makanan sehari-hari disana. Untuk pertama kalinya aku merasakan “keluarga yang rusak”. Hal yang kupercaya bahwa keluarga seharusnya saling mengasihi dan menghargai dilukai atas perlakuan eyang putri dan keluarga lainnya. 

Saya merasa saya harus terus melakukan sesuatu untuk hanya sekedar dianggap di dalam keluarga Surabaya. I always had to earned my love for them. Rasa yang berkecamuk antara saya bersyukur bisa disekolahkan mereka namun disatu sisi semua hal itu dibayar dengan luka-luka yang mereka berikan. 

“Why did I want to reconcile?”

Saya ingin berdamai, karena saya ingin menjalani hidup saya tanpa dendam. Kadang kala saya masih marah jika mengenang kejadian dimasa lampau, namun saya mencoba untuk tak menyimpan rasa dendam. Karena saya ingin menjalani hidup saya dengan sepenuhnya, tanpa terkekang oleh rasa sakit dan kecewa yang terus menggerogoti saya kemanapun kaki saya melangkah.

Saya tidak bisa memilih akan terlahir di keluarga seperti apa. Saya tidak bisa memilih ayah saya terlahir dikeluarga seperti apa. Tapi saya bisa memilih untuk mencoba memaafkan. Karena dalam hati saya, saya melihat ayah saya adalah anak dari Eyang Putri dan kakak dari saudara-saudaranya. Sedalam luka yang saya bawa, ayah saya merasakannya jauh lebih dalam. Saya ingin hidup damai dan tanpa dendam. Walau pada kenyataannya tidak semua saudara dan keluarga bisa sama-sama saling mengasihi, tapi saya tak ingin pola tersebut berlanjut ke keluarga kami yang lain.

“What decisions did I make?”

Saya memilih untuk melangkah jauh dari lingkungan beracun itu. Tidak tinggal bersama mereka betul-betul memberikan kewarasan yang jauh lebih membahagiakan. Walau luka itu masih terasa, namun tidak tinggal bersama mereka sangat membantu. Saya juga memutuskan untuk paham bahwa “they didn’t know any better”. Saya memiliki compassionate dan privilege untuk bisa bertemu dan belajar dengan orang-orang yang mendengarkan dan mendukung. Sedangkan mereka tidak. Walau memang semua tindakan adalah pilihan, namun tetap saja. I do pity them. Because they didn’t know any better.

“What actions did I take?”

Melepaskan jeratan itu dengan mandiri dan berdaya secara finansial. Juga mulai menata kembali mindset-mindset tentang perjalanan untuk mencari kedamaian. Salah satu langkah awal dengan mulai mencintai diri sendiri. Mencintai segala bentuk dan segala perasaan yang ada didiriku. Mencoba memahami lebih jauh apa yang hati kecilku mau. Berdamai lagi dengan andjani remaja. Bertemu dan mengelilingi diri saya dengan hal-hal yang positif. Mencoba lebih banyak mendengarkan hal-hal disekitar. Belajar bersyukur atas hal-hal yang terjadi dalam hidupku. Menulis kegelisahan-kegelisahanku.

Menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang kusayangi. Ibu, ayah, kakak, adik, dan sahabat-sahabatku. Berenang juga sangat membantu untuk menenangkan pikiranku yang kalut. Bermain dan belajar juga membuatku sangat bersemangat. Dan mungkin yang saat ini masih terus ingin kupahami dan kupertahankan adalah “diriku adalah diriku, dengan segala prosesnya. Tidak bisa kita memaksakan proses dan perubahan kita kepada orang lain. Dan kita harus menghargai hal itu” 

“What did I learn?”

Bahwa inilah proses kehidupan yang harus kujalani. High and low. Goods and bads. Atas semua rasa sakit. luka, kekecewaan, kesenangan, rasa syukur, ketakutan, kecemasan, kegembiraan semua menuju kepada satu titik pemahaman. Ini semua adalah proses.

 

Penulis:

Farida Andjani Azzahra

(Peserta Sekolah Rekonsiliasi)