Saturday, June 10, 2023


Setiap orang memiliki lukanya masing-masing. Dia yang dari keluarga disfungsional, lukanya akan tampak mengangah. Sementara itu, mereka yang dari keluarga baik-baik pun tetap akan terbebani dengan nama baik keluarga. Derita dan goresan luka sulit dilepaskan dari daur hidup yang kita jalani.

Secara umum ada setidaknya 3 dimensi luka yang banyak diwariskan oleh keluarga asal kepada kita.

1. Tumbuh Tanpa Cinta

Sekitar 60-70 persen anak-anak lahir tanpa direncanakan. Mereka ini lebih rawan dibesarkan tanpa dekapan cinta yang cukup dari orang tua. Mereka yang tumbuh tanpa cinta berpeluang untuk gagal merasakan betapa penting eksistensi mereka. Mereka yang kelahirannya dinanti-nanti pun terkadang mendadak ditenggelamkan dalam prahara perceraian atau konflik orang tua tanpa ujung.

Kesadaran pertama manusia adalah memahami bahwa mereka ada. Kesadaran eksistensial ini diafirmasi baik di psikologi maupun filsafat. Seorang bayi mulai sadar secara penuh bahwa dia adalah sosok manusia independen pada usia 9 bulan. Sejak saat itu dia berusaha mengembangkan individualitasnya, yang kemudian membentuk identitasnya sebagai manusia. Pertumbuhan manusia, di luar fisik, adalah proses penegasan identitas.

Mereka yang gagal menyadari betapa penting keberadaannya di dunia akan rentan mengalami gagal tumbuh. Mereka rawan gagal mengembangkan identitasnya. Fenomena gagap identitas menjadi gejala yang tegas atas apa yang orang awam sebut sebagai kenakalan.

Karena tumbuh tanpa cinta, anak-anak ini menjadi sulit mencintai, baik kepada dirinya maupun kepada yang lain. Mereka tak tahu bagaimana menghargai eksistensi dirinya dan eksistensi makhluk lain. 

2. Dihalangi Menjadi Diri Sendiri

Ketika orang tua melahirkan kita, bisa jadi mereka belum selesai dengan diri mereka sendiri. Mereka gagal mengaktualisasikan potensi yang mereka miliki. Orang tua seperti ini berpeluang memproyeksikan diri mereka ke anak-anak.

Dalam kondisi seperti itu anak-anak bisa dijadikan kambing hitam atas kegagalan orang tua mengaktualisasikan diri. Anak-anak banyak disalahkan dan dikritisi. Orang tua menanamkan rasah bersalah ke anak untuk mendapatkan kendali.

Selanjutnya, anak-anak dimanfaatkan untuk merealisasikan mimpi-mimpi orang tua yang gagal diwujudkan. Anak-anak dibentuk sesuai dengan apa yang orang tua inginkan. Orientasi parenting diarahkan ke bagaimana kebutuhan orang tua terhadap anak terpenuhi. Sebaliknya, kebutuhan fitrah anak-anak diabaikan. Orang tua menolak memahami apa yang anak-anak rasa dan pikirkan.

Luka nomor dua ini membuat kita tak mampu hidup sesuai kehendak kita. Kita mengabaikan diri sendiri. Di saat penyakitan ini terjadi, ada 2 respons yang lazim diambil oleh anak: 

a) Anak menyerah dan mengikuti apa kata orang tua. Pada skenario ini, sejatinya batin anak akan sakit karena dia gagal membela diri. Anak-anak tipe ini akan kesulitan mengenali kehendak mereka sendiri. Dari luar anak-anak ini tampak baik karena penurut. Akan tetapi, perasaannya yang sakit membuatnya tidak bisa mengambil keputusan, mati rasa, kurang gairah hidup, tak percaya diri, dan tak tahu harus melakukan apa dalam hidup.

b) Anak memberontak dan lari dari orang tua. Mereka yang memberontak atau menjadi anak hilang yang juga selalu dihantui rasa bersalah. Bagaimanapun, ada standar moral dalam semua kebudayaan bahwa anak harus menghormati dan mendengarkan orang tua. 

Meskipun anak-anak pemberontak ini bisa sukses dalam perjalanan hidupnya, sebagian yang lain berakhir tragis. Anak-anak yang besar di jalanan adalah contoh dari mereka yang memberontak otoritas orang tua.

Kita menyaksikan banyak orang terombang-ambing di dua kutub ekstrem tersebut. Dampak buruknya, ketika anak-anak ini menikah dan melahirkan anak, mereka secara tak sadar mewariskan apa yang mereka alami ke generasi berikutnya. Menghalangi anak untuk jadi dirinya sendiri dianggap perkara yang lumrah. Glorifikasi kepatuhan dan penistaan terhadap anak-anak durhaka menjadi doktrin yang orang-orang imani secara massal.

3. Kehilangan Kemampuan Berkomunikasi

Ketika gagal merajut komunikasi, kita tidak dapat mengungkapkan perasaan terdalam dan sekaligus tak bisa mendengar yang lain. Pada keadaan seperti ini, ketika ada masalah, yang lebih dulu muncul adalah amarah. Kita tak memiliki kata-kata untuk mengekspresikan perasaan. Karena tak ada komunikasi, hubungan menjadi rusak.

Kegagalan mengembangkan komunikasi yang sehat di keluarga membuka kesempatan orang tua untuk melakukan pengabaian, pelecehan dan penyalahgunaan wewenang. Pengabaian adalah isu yang marak dalam konteks parenting.

Barangkali hampir setiap kita tergores salah satu atau bahkan ketiga luka di atas, dengan kedalaman yang berbeda-beda. Yang kita butuhkan adalah memperbaiki diri, dengan belajar dan latihan. Kita membutuhkan cara pandang baru dalam melihat diri sendiri, terutama bagaimana menerima bahwa diri kita sedang terluka. Kita perlu tidak hanya melihat kita yang sekarang, tetapi juga bagaimana kita di masa lalu, saat kita tak kuasa menolak luka itu.

Sayangnya, sebagian orang memutuskan untuk menolak melihat luka dalam diri. Mereka malu melihat mereka pernah diabaikan, tidak dicintai, dilecehkan, dan ditinggalkan dalam ketakutan. Sebagian yang lain memilih lupa untuk mengasihi dan mengasuh diri sendiri. Sampai ajal menjemput, sebagian orang menganggap rasa sakit tersebut sebagai takdir yang tak bisa ditolak.

Dhuha Hadiyansyah, diadaptasi dari pidato Ren-Jou Liu. Petailing Jaya, 5 Juni 2023.