Sunday, May 1, 2022

gold buddha figurine on brown wooden table
Sumber: unsplash (Patrick Seguin)


Alkisah, Diogenes ditanya, “apa bedanya hidup dan mati?”

“Tidak ada bedanya”, jawab Diogenes.

“Lalu, mengapa kamu lebih memilih hidup”.

“Karena tidak ada bedanya”.

*

Syahdan, Nasruddin Hoja berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim berkata, “kalau anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan anda pilih?“

Nasruddin menjawab seketika, “tentu, saya memilih kekayaan.”

Hakim membalas sinis, “memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan anda meimiliki kekayaan daripada kebijaksanaan?”

Nasruddin balik bertanya, “kalau pilihan anda sendiri?”

Hakim dengan tegas menjawab, “tentu, saya memilih kebijaksanaan.”

Dan Nasruddin menutup, “terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya”.

**

Apakah salah satu atau kedua cerita di atas membuat anda tertawa, atau sekadar tersenyum atau mungkin bingung?

Dari kedua fragmen cerita di atas, paling tidak minimal membawa kita pada senyum tipis atau bahkan tertawa lebih terbahak-bahak. Kondisi tertawa ialah satu kondisi yang membawa manusia kembali ke muasal eksistensialnya sebagai manusia. Dengan tertawa, manusia menemukan dirinya yang otentik. Dheepak Chopra berujar “nothing’s so bad that it can’t be laughed at; an intense man, he still found humor in the darkest moments”. Tentu terlihat aneh jika manusia belum pernah menemukan humor yang membuatnya tertawa. Rideo Ergo Sum, Aku Tertawa, Maka Aku Ada.

Jika pepatah lama mengatakan, “hidup yang tidak diperjuangkan adalah hidup yang tidak layak dihidupi”, maka kali ini yang benar adalah “hidup yang tidak ditertawakan adalah hidup yang tidak layak dihidupi”. Entah berapa banyak humor atau bahan tertawaan yang menopang hidup manusia yang penuh kerapuhan ini.

Di sekian situasi, manusia gagal menertawakan kondisi hidup yang sebetulnya begitu menggelikan ini, menertawakan kontradiksi-kontradiksi yang berada di tiap persimpangan kehidupannya, serta tersenyum manis atau kecut di setiap resiko yang melekat pada pilihan-pilihan tersebut.

Acapkali, humor berisi wajah lain kebahagiaan yang mencoba menutupi sejenak kekalutan dalam hidup manusia. Humor, kadang-kadang diperlukan dalam situasi yang mencekam, dalam situasi kegelisahan, dalam setiap situasi yang membuat manusia dalam ketakutan.

Tak pelak, wacana alternatif itu ada dalam humor, wacana yang memberi nafas pada hidup manusia, yakni harapan. Dimulai dari diri sendiri, manusia bisa menertawakan dirinya sendiri. Minimal memulai mengajukan pertanyaan ke diri mereka sendiri, seperti apa yang ditanyakan ke Diogenes dalam fragmen cerita di atas. Diogenes ditanya soal perbedaan hidup dan mati, atau mungkin manusia hari ini juga sedang tidak menyadari hidupnya—apakah saat ini mereka hidup atau (sudah) mati.

Ini menjadi penting untuk melatih diri manusia, paling tidak untuk mengatasi kegelisahan—untuk mengambil jarak, supaya bisa menertawakan dirinya sendiri. Tanpa jarak, manusia mudah panik untuk setiap kejutan di kelokan kehidupannya, kejutan yang entah berisi pelajaran apa, khususnya pasca melewati ganasnya pagebluk korona ini.

Butuh sesekali mengambil jeda, untuk sekadar menertawakan keadaan, menertawakan diri sendiri, melihat hidup yang mungkin tidak sedang baik atau justru ternyata baik-baik saja, atau mungkin sedang entah. Tanpa tawa, humor dalam baris-baris kehidupan ini tidak dapat tersingkap ke permukaan untuk ditertawakan, untuk dirayakan, dan untuk dimaknai.

Pagebluk korona ini membawa orang keluar dari doksa atau wacana dominan dalam kenormalan hidup manusia, atau istilah Pierre Bourdieu heterodoksa. Korona membawa manusia untuk melihat betapa mudah hidup ini berjungkir balik dalam hitungan yang tidak terduga, para pakar kaget, nakes begitu terkejut dan kesadaran manusia digelitik oleh betapa mudahnya kepanikan itu menyergap dan saat ini manusia merasa sudah bisa kembali menyatu dengan sesuatu yang disebut kenormalan baru.

Sebuah upaya pencarian alternatif dengan keluar dari heterodoksa ini pernah dilakukan di sebuah kantin SD, di mana apelnya sering habis, banyak siswa yang sering tidak mendapatkan jatah. Guru agamanya punya ide biar anak-anak takut, di bagian apel ditulisi oleh guru agama, “awas, ambil satu apel saja, Tuhan sedang mengawasi!”. Lalu, anak kelas 6 SD sudah ada yang memiliki ide jahil, di bagian brownies, ditulisi “silahkan ambil brownies semaumu, jangan takut—karena Tuhan sedang mengawasi apel”.

Dari fragmen cerita ini, bagaimana wacana alternatif itu ada ketika daya kreasi manusia keluar dari wacana dominan yang selalu ini membuat hidup sudah seperti mesin cetak sepatu yang menghasilkan produk yang seragam dan tanpa henti. Jeda agung yang tak hanya mendengar suara dari dalam (inner voice), namun juga jeda untuk sejenak tertawa dengan kehidupan yang beberapa sudutnya adalah humor terbesar yang Tuhan ciptakan.

Pada akhirnya, tertawa sendiri sudah dimiliki dan sudah menjadi ciri khas dari manusia. Tertawa menjadi penanda khas kelemahan, kerapuhan dan ketidakberdayaan manusia di bawah undang-undang kehidupan yang bernama takdir. Bersamaan dengan realitas yang datang silih-berganti, dengan tertawa—manusia masih bisa menemukan diri masih sebagai manusia, yang memiliki segenap kelemahan dalam dirinya yang memancarkan kemuliaan Sang Pencipta. Selamat merengkuh kelemahan dan merengkuh kerapuhan itu dengan tertawa!

Bagaimana, sudah tertawa hari ini?

Penulis : Ahmad SM

Mahasiswa Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta, Program Officer Trustbuilding Program (TBP) IofC Indonesia.