Sunday, December 18, 2022

Sumber: Freepik.com

 

Kalau harus melihat diriku jauh sebelum hari ini, yang bisa terlihat adalah “seperti air laut yang tenang”. Aku yakin ada sesuatu di antara ketenangan itu tapi tak tau apa. Hingga akhirnya tahun ini menjadi tahun yang penuh dengan gejolak, badai, dibuat terombang ambing dengan semua memori, perasaan yang melekat tapi tak pernah berusaha dikenali dari mana, akan kemana muara semua itu dan bagaimana menghadapi gejolak dalam diri yang menyeruak seakan tiba-tiba.

Ternyata tak kenal dengan diri sendirilah letak segala kebingungan ini. Luka telah menjadi tindakan tak tersadarkan, tak paham dan terkoneksi dengan emosi sendiri. Sampai akhirnya baru ku ketahui mengenal diri sama seperti belajar di bangku sekolah yang membutuhkan teori, praktek. Namun aku belajar disaat masa sulit, ku kenali diri yang tengah kelelahan, mempertahankan semuanya untuk terlihat baik-baik saja. Seperti paus muncul kepermukaan yang membutuhkan oksigen, semua rengekan diri kecilku muncul satu persatu kadang bersamaan ingin menghirup kebebasan, kekuatan tapi seringnya adalah perhatian.

Semua itu karena perasaan harus survive di kehidupan ini, membiayai keluarga, menanggung beban emosi dari keluarga yang tak terkoneksi satu sama lain dan aku yang kesepian, mudah insecure sebagai hasil dari dinamika menghadapi hal tersebut tanpa bantuan siapapun terutama keluarga. Sudah tak sanggup ditanggung sendiri, pertolonganlah yang aku butuhkan. Hingga pecahlah ketenangan lautan emosi, pikiran dan keseimbangan dalam diri.

Belajar rekonsiliasi, seperti jembatan yang mengantarkan pada jalan bagi diri menyapa kembali kenangan, ataupun bertemu kembali dengan orang-orang atau hal-hal yang masih "terpendam" akibat interaksi atau peristiwa yang tidak menyenangkan, yang sebelumnya harus diterima saja tanpa mempertanyakannya, hingga memutus hubungan, padahal hal tersebut belum terselesaikan. Hingga sadar semua ketakutan, perasaan yang dirasa negatif selama ini adalah aku, aku, semuanya sudah menjadi aku dan tak apa, tak salah, wajar betul karena beginilah manusia. “Aku” pulalah yang pegang kendali saat ini.

Sampai aku di ujung hari ini, berubah pandangan akan diriku. Tak apa tak selalu bisa mempertahankan ketenangan, selalu bisa menjadi anak yang diandalkan disetiap kondisi, tak apa ada hari yang menyedihkan, membingungkan, tak sanggup karena seperti badai di lautan, semua akan berlalu. Kalaupun karam, akan ku temukan lagi jalan ke permukaan dan terus berlayar lagi untuk membiasakan ketenangan yang sejati hidup dalam setiap waktu, bukan seperti dipaksakan.

Ikhlas dan berani menjadi jalan pelayaran yang panjang membentang bagiku, aku relakan semua terjadi, datang dan pergi dari hidupku. Setidaknya dari panjangnya perjalanan ini sudah kuketahui dimana aku perpijak, akar dari beban juga masalah yang ku rasakan. Tak takut lagi membuat boundaries kesanggupanku agar terlindungi energi diri dan mengakhiri kemelut kelelahan yang selama ini ada. 

Mengutip lirik lagu Yura Yunita - Tutur Batin:

“Aku tak sempurna, tak harus sempurna, akan kurayakan apa adanya” 

Kelas Sekolah Rekonsiliasi (SR) membuat lebih terpahami apa itu “kurayakan apa adanya”, tak perlu menunggu sesuatu yang besar terjadi karena sebenarnya sudah banyak yang perlu dirayakan diri atas semua yang sudah dilalui. Hal terpentingnya adalah, aku terima diriku apa adanya dengan segala kelemahan dan ketidakmampuannya juga semua dilakukan dengan sadar.

Paham betul bahwa badai ini tak akan tiba-tiba berlalu setelah ini, tapi kupastikan diri ini lebih siap melalui semua ini dan tak hanya diam, berputar atau tenggelam dalam lautan kesedihan, kali ini akan ku lalui sambil melangkah maju dengan segenap diriku yang lebih berani. Tak lupa kini aku lebih berani bermimpi untuk masa depan karena teman-teman di SR banyak memperlihatkan bahwa mereka mampu melalui apa yang selama ini dinggap mustahil bagiku.

Terima kasih, terima kasih. May peace be upon us and we are always given courage.

 

Penulis:

Berlinda Nefertiti Goldy Salaki

(Peserta Sekolah Rekonsiliasi)