Saturday, December 3, 2022

Freepik.com

Keberagaman merupakan isu yang hangat dibicarakan dan terjadi bukan hanya di Indonesia saja, tapi juga di seluruh dunia. Menengok keberagaman di Indonesia, isu keberagaman yang paling seksi adalah membahas tentang agama dan kepercayaan. Banyak stereotipe yang dapat diobservasi dari kondisi beragama seperti orang yang beribadah di masjid berarti Islam, orang yang ke Gereja adalah Kristen. Juga agama lain dengan tempat ibadah beserta cara beribadah pun kita beri label atau asosiasi yang berkaitan pada agama atau kepercayaan tertentu. 

Selain stereotipe agama, tentu masih banyak keberagaman lain yang ada di Indonesia seperti ragam gender, disabilitas, suku, adat dan budaya yang perlu mendapatkan perhatian. Sayangnya, keberagaman itu belum menjadi suatu persatuan layaknya moto Bhinneka Tunggal Ika yang selalu digaungkan sebagai bentuk persatuan dari perbedaan-perbedaan yang ada di tanah air Indonesia.

Banyaknya kasus intoleransi dan diskriminasi akhirnya membuat suatu bentuk pemikiran radikal yang dapat membahayakan suatu kelompok tertentu. Munculnya perbedaan hanya kita nilai dari apa yang kita lihat saja dan hanya disimpulkan melalui perilaku yang telah dilakukan, padahal banyak aspek yang memengaruhi perilaku kita. Saat kita menilai suatu perbedaan orang lain, kita lupa bahwa kita sendiri masih luput untuk introspeksi dari apa yang terjadi di dalam diri kita. 

Inner diversity dan inklusi membahas bagaimana kita melihat keberagaman dan pemahaman yang terjadi di dalam diri kita terlebih dahulu sebelum melihat orang lain. Ketika kita ingin membuat suatu lingkungan yang inklusif dan menerima bahwa setiap orang memiliki hak dan keunikannya masing-masing, semua itu harus kita mulai dari apa yang ada di dalam diri kita. Apakah diri kita merasa diterima dan dihargai? Apakah kita memahami adanya perbedaan di dalam diri kita? Apakah kita mencintai diri sendiri? 

Pincus (2011) menjelaskan jika kita ingin melihat keberagaman, itu akan sangat mudah, kumpulkan saja orang-orang dari berbagai macam agama, gender, dan latar belakang lainnya di dalam satu ruangan, dan ajak mereka berbicara tentang identitas mereka. Namun, jika ingin melihat bagaimana diri kita menilai perbedaan dari keragaman orang lain, entah itu penilaian positif ataupun negatif, hal paling utama adalah menilai diri kita sendiri terlebih dahulu – kita lihat di dalam diri kita adakah trauma, kejadian tidak menyenangkan, ketakutan, atau pengalaman-pengalaman yang signifikan dalam memengaruhi cara kita memandang orang lain. 

Baik kualitas negatif seperti benci, cemburu, iri, nafsu, malas dan kualitas positif seperti tepat waktu, empati, jujur atau yang lainnya menunjukkan sebuah bentuk adaptif dari kehidupan. Namun, hal itu juga yang membuat kita sebagai manusia memiliki suatu prinsip untuk menjaga diri dan sebagai bentuk pertahanan untuk berasumsi dan menilai orang lain yang tidak sesuai dengan kualitas yang ada pada diri kita sendiri.

Ketika membahas pola pikir manusia, berarti banyak sekali konsep, gambar, taktik dan cara dalam meredam atau menghindari elemen-elemen yang tidak kita inginkan dalam hidup kita, hingga akhirnya menjadi suatu bentuk denial, prokrastinasi, bohong, kekerasan, proyeksi, obsesi, stigma, prasangka, adiksi dan kondisi lain yang dapat menghancurkan diri. Apapun bagian dari dalam diri yang tidak dicintai atau ditolak karena tidak adanya dukungan dari lingkungan, paksaan atau persuasi, bahkan tidak sesuai dengan konsep diri akhirnya bisa meledak menjadi suatu perilaku pemberontak. 

Membahas teori shadow dari Carl Jung, di dalam setiap individu memiliki shadow atau bayangan yang menjadi bagian dari diri yang ingin dipahami, diterima, dan dipulihkan. Namun, kita perlu berhati-hati karena shadow yang ada di dalam diri kita merupakan bagian yang kita tekan dalam-dalam dan tidak mendapatkan perhatian. Shadow bisa kita sebut sebagai sisi gelap dari diri kita, bayangkan jika sebuah ruangan hanya dipenuhi dengan bayangan saja, ruangan tersebut akan gelap gulita dan kita tidak tahu apa yang ada di dalam ruangan tersebut, kita hanya bisa berasumsi dan beropini.

Sebaliknya, jika ruangan tersebut terdapat bayangan karena ada cahaya yang menyinari ruangan tersebut, kita bisa melihat apa yang ada di dalam ruangan itu. Jika kita memahami dengan baik apa yang terjadi di dalam diri kita, kita akan mampu memahami apa yang terjadi di sekitar kita, tapi jika tidak, maka kita akan kehilangan arah dan mudah dipengaruhi dengan asumsi dan stigma. 

Betul, bukan pekerjaan yang mudah jika membahas perubahan diri, tapi bukankah kesejahteraan diri juga penting? Jika kita memulai suatu perubahan itu memang tidak mudah. Kita perlu berani melangkah kepada suatu kebiasaan baru dan membuat tujuan baru dalam hidup. Namun, itulah perubahan, ketika kita ingin belajar memperbaiki diri sebelum membantu orang lain, pahamilah diri kamu sendiri terlebih dahulu. Karena kita perlu memberi kesempatan untuk menerima semua keragaman yang ada di dalam diri hingga akhirnya bisa menerima keragaman orang lain. 

Membuat suatu lingkungan yang inklusif terhadap berbagai keragaman di Indonesia, terutama untuk mengurangi kasus-kasus intoleransi dan paham radikal yang bisa mengarah menuju ekstrimisme, kita secara pribadi perlu melihat suatu perbedaan dari berbagai sudut pandang. Seperti konsep shadow yang dikemukakan oleh Jung, ketika kita memiliki cahaya di dalam suatu ruangan yang berarti diri kita sudah diberi pengetahuan, edukasi, dan empati, maka kita bisa melihat sekitar kita dengan lebih baik, tidak ada ketakutan ataupun asumsi negatif terhadap lingkungan kita. Lihat suatu hal dari perspektif baru dan saatnya belajar untuk memahami orang lain dimulai dari cara kita berpikir.

Ragam berarti jamak, maka pola berpikir kita pun harus bercabang dan plural. Belajar untuk berempati terhadap orang lain yang mungkin tidak memiliki privilege seperti mayoritas orang. Mari kita rangkul, beri dukungan dan edukasi moral terhadap orang-orang yang membutuhkan. Meskipun ekstrimisme terjadi karena adanya kesenjangan struktural, tapi ketika lingkungan di sekitarnya memiliki pengaruh yang positif, hal seperti radikalisme dan ekstrimisme akan dapat direduksi. Diharapkan pada generasi selanjutnya bahwa membangun kepercayaan, empati dan toleransi adalah hal yang penting untuk kemajuan bangsa dan meminimalisir prasangka dan kekerasan terhadap kelompok tertentu. 

 

Penulis:

Lumban Tobing, Hobie Fauzan

Mentor Trust Building Bandung