Thursday, January 10, 2019

Jatuh Cinta Bukanlah Cinta

Di antara kesalahan anggapan tentang cinta adalah kepercayaan bahwa “jatuh cinta” adalah cinta itu sendiri. Hal ini penting dikemukakan karena betapa banyak orang yang atas nama jatuh cinta kemudian justru menggelapkan masa depannya: hamil di luar nikah, kawin lari, selingkuh dll.

Ada beberapa masalah mendasar pada diri seseorang yang mengaku jatuh cinta, yaitu pengalaman jatuh cinta secara spesifik adalah keterikatan seksual. Kita jatuh cinta hanya ketika secara sadar maupun tidak terdorong oleh hasrat seksual yang kuat. Yang orang lamunkan ketika jatuh cinta adalah bertemu dan berhubungan badan. Saya dan Anda pasti mencintai anak atau orang tua sendiri, tapi itu bukan jatuh cinta, bukan!?

Masalah kedua adalah jatuh cinta bersifat temporer. Namanya juga “jatuh”; ketika menyadarinya, kita pasti segera bangkit lagi. Sebentar atau lama dalam menjalani hubungan, orang akan “bangkit”, tidak ingin terus-menerus dalam posisi “jatuh”. Masa-masa bulan madu akan habis; romansa akan menguap; kasmaran hanya akan menjadi kenangan.

Ketiga, jatuh cinta tidak memerlukan keberanian dan usaha. Karena membutuhkan usaha, cinta pastinya tidak bisa menjadi prioritas manusia pengecut dan pemalas. Akan tetapi, para pemalas dan orang-orang yang tak bertanggung jawab justru sangat sering jatuh cinta. Cinta bukan perasaan yang acak, tetapi hasil dari keputusan. Padahal, pemalas dan pengecut selalu sulit mengambil keputusan dalam hidup.

Saya suka dengan cara Morgan Scott Peck (1978) mendefisikan cinta, yaitu kehendak untuk memperluas kedirian seseorang dalam rangka memelihara pertumbuhan spiritual diri sendiri dan orang lain (baca The Readless Traveled, hal.81). Karena cinta mensyaratkan kehendak bersama untuk tumbuh secara spiritual, segala bentuk yang mengarah kepada kebergantungan tidak dapat dinamakan cinta. Orang jatuh cinta biasanya kepada seseorang yang sekiranya mampu menambal ruang kosong dalam dirinya, dia ingin bergantung kepadanya.

Untuk memahami lebih lanjut fenomena jatuh cinta, kita perlu memahami apa yang para psikiatris sebut sebagai batasan ego atau ‘ego boundary’. Batasan ego oleh Paul Federn (1928) disebut akan membentuk pondasi bagi seseorang untuk membedakan apa yang nyata dan tidak. Istilah ego yang dimaksud Federn ini mengacu kepada pengalaman jasmaniah dan kejiwaan seseorang sekaligus, yakni “aku”, diri, dan identitas seseorang (bandingkan dengan ego pada model struktural Freud).

Saat bayi baru lahir hingga beberapa bulan kemudian, dia belum bisa membedakan antara dirinya dan yang lain. Belum ada perbedaan antara aku dan kamu, tidak ada batas dan pemisahan—belum ada identitas. Akan tetapi, seiring waktu, anak mulai merasakan bahwa dirinya adalah maujud yang terpisah dari yang lain. Pengetahuan tentang batas-batas yang ada di benak kita inilah yang disebut sebagai ego boundary tadi.

Orang yang jatuh cinta ingin menghancurkan batasan ego ini; dia ingin menyatu dalam arti “melebur” dengan orang yang kepadanya dia jatuh cita. Dia ingin mengembalikan keadaan seperti saat baru lahir. 
Untuk menjelaskan penyatuan dalam cinta yang sehat, kita dapat meminjam logika dalam aritmatika bahwa akar dari satu (1) adalah satu (1), yang artinya tidak ada ego yang dilebur: masing-masing dapat menjadi dirinya sendiri. Akan tetapi, dalam prinsip jatuh cinta, aku adalah kamu; kamu adalah aku. Kemanunggalan kita dengan seseorang dalam kehidupan nyata adalah musykil dan mustahil. 

Realitas orang yang jatuh cinta sama seperti perasaan anak usia dua tahun yang merasa bahwa dirinya adalah raja di keluarga. Secara hiperbolik orang yang jatuh cinta berfantasi bahwa dunia ini hanya milik berdua; asal bersama, lautan api akan direnangi; api cinta akan mencairkan kutub utara. Omong kosong!

Cinta yang nyata adalah pengalaman yang secara permanen merupakan bentuk perluasan diri, tetapi jatuh cinta malah sebaliknya. Jatuh cinta justru menghancurkan batas-batas diri, yang oleh Peck dianggap sebagai insting perilaku seksual. Jatuh cinta, menurutnya, adalah respons manusia terhadap dorongan seksual dan stimulus eksternal untuk mempertahankan eksistensi spesies manusia.

Baba Dhuha, Sekolah Rekonsiliasi