Friday, April 2, 2021

Jalan Panjang Membangun Kepercayaan

Minggu, 21 Maret.

Trustbuilding Program (TBP) yang merupakan salah satu program dari Initiative of Change (IofC) Indonesia mengadakan talkshow yang bertajuk “Membangun Percaya, Menenun Asa” melalui media ZOOM. Acara yang berlangsung dari pukul 15.30 hingga pukul 17.30 tersebut menghadirkan empat kaum muda yang terdiri dari Deon Kristiawan (Pemuda GKI Yasmin Bogor), Aliyatur Rofi’ah (Pengajar Yayasan Mambaul Ulum Gresik), Gita Pertiwi Mangin (Anggota MIPG Makassar) dan Neas Wanimbo (Pendiri Hanowene Papua). Anak muda dari berbagai daerah ini menjadi narasumber sekaligus membagikan cerita serta pengalaman mereka dari interaksi mereka dengan program IofC Indonesia dan pengalaman mereka selama ini dalam membangun inisiasi di tempat mereka berada saat ini.

Acara ini dibuka dengan penampilan cerita dalam bentuk video dari tiap narasumber. Cerita pertama, dimulai dari Deon Kristiawan yang tahun 2010 lalu ketika duduk di bangku kelas 10 SMA dan peserta Camp Pelajar Lintas Iman yang membawanya mulai membuka diri setelah mengalami trauma ketika rumah ibadahnya di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor mendapat penutupan paksa oleh ormas intoleran. Deon mendapat pengharapannya kembali ketika mendapat uluran tangan dari mereka yang berbeda. “Kita harus memulai dari diri sendiri untuk mengupayakan perdamaian dan berani meninggalkan zona nyaman”, ujar pemuda yang saat ini berprofesi sebagai dokter hewan itu.

Cerita kedua datang dari Aliyatur Rofi‘ah atau akrab disapa Fifi yang dulu sempat mengikuti Young Muslim and Adventist Trustbuiling (YMAT) tahun 2015 yang membawanya mengenal lebih dalam denominasi Kristen lain, yakni Advent yang oleh sebagian kalangan dianggap lebih mirip Yudaisme daripada Kristen. Fifi saat ini menjadi pengajar di Pondok Pesantren yang diinisiasi oleh keluarganya dan juga turut membagikan gagasannya tentang bagaimana mengenal yang lain dan tidak asing dengan perbedaan. “Saya ingin memberitahu santri-santri saya bahwa orang Kristen itu tidak menakutkan”, ucap lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

Cerita ketiga berasal dari Gita Pertiwi Mangin yang menjadi penggerak di Mahabbah Institute for Peace dan Goodness (MIPG), sebuah lembaga yang konsen pada dialog dalam aksi atau dialog karya, dimana mereka yang berasal dari berbagai latar belakang agama bekerjasama untuk melayani kemanusiaan. Dari pendidikan, kesehatan hingga dialog lintas iman.

Di akhir, cerita keempat ditutup oleh Neas Wanimbo, pendiri Hanowene yang konsen pada isu pendidikan dan literasi. Berangkat dari potret pendidikan dan tingkat buta huruf di Papua yang masih tinggi—menjadi panggilan bagi Neas untuk mendirikan Hanowene yang berarti “kabar baik”. Neas juga konsen melihat aksi kekerasan yang menimpa teman-teman Papua di tanah Papua sendiri dan pulau lainnya di Indoneisa yang notabene punya trauma dengan tentara. Dia melihat belum ada value yang anak muda dapatkan, dari karater bahkan dari keluarga untuk hidup berdamai. “Kebetulan mereka mendapat kekerasan, dan itulah yang menjadi pengalaman mereka”, tutup pemuda suku Dani itu. Saat ini, Neas mengerjakan perpustakan dan menggerakkan literasi di 7 kampung pedalaman di 2 provinsi, yakni Papua dan Papua Barat. [*ASM]