Wednesday, July 30, 2025

Human Library: Circle of Peace & Healing

Ruang Aman untuk Mendengar, Merasa, dan Memahami Kemanusiaan

Human Library. Perpustakaan Manusia. Mungkin istilah ini belum benar-benar melekat dalam telinga bahkan pikiran kita. Dalam ingatan kita, perpustakaan merujuk pada suatu bangunan dengan isi buku-buku yang dapat dibaca di tempat mau pun dipinjam sewa atau tanpa biaya tergantung syarat dan ketentuan berlaku dari setiap perpustakaan. 

Namun, belakangan Human Library atau Perpustakaan Manusia sedang ramai dibicarakan.  Lazim disebut Menneskebiblioteke dalam bahasa Denmark, memang konsep ini pertama kali diusung di sana sekaligus menjadi suatu gerakan internasional. Perpustakaan ini mengundang orang-orang sebagai sumber informasi dan cerita yang justru menjadi suatu alternatif ruang aman bagi siapa pun. Mereka bercerita mengenai apa saja yang terjadi dalam hidup mereka, mulai dari pengalaman yang menyenangkan hingga pengalaman mengalami diskriminasi, intimidasi, perundungan, dan kisah-kisah lainnya yang menyentuh rasa kemanusiaan. 

Di Indonesia, ketika kita sudah melihat banyak peristiwa yang seharusnya dapat menggerakkan rasa kita sebagai manusia, contohnya banyaknya kasus perundungan di lingkungan sekolah yang bahkan dapat menyebabkan kematian, peristiwa penghentian aktivitas ibadah, penutupan rumah ibadah, serta banyaknya prasangka terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Hal-hal tersebut menyebabkan konflik yang terjadi berkepanjangan. Apakah kita akan selalu terjebak dalam narasi-narasi yang menekankan pembenaran terkait satu kelompok masyarakat tertentu sehingga akan mendorong kepada nilai-nilai pembenaran yang dipaksakan? Dan, akhirnya kita melihat kekerasan satu sama lain hanya karena adanya perbedaan dan keragaman tersebut.

(Human Library)

Inisiatif Berbagi Cerita

Cerita-cerita otentik yang dimiliki masyarakat di Indonesia merupakan kekayaan dan seharusnya melekatkan mereka untuk dapat hidup berdampingan dengan prinsip toleransi dan keterbukaan, walau pada kenyataanya perbedaan-perbedaan terkait etnis, agama dan kepercayaan, dan latar belakang sosial lainnya dapat menimbulkan segregasi sosial dan konflik. Pendekatan untuk mengatasi segreasi dan konflik tersebut, seperti Human Library atau Perpustakaan Manusia, merupakan konsep soft-pluralism, yang mengarahkan pada sikap toleransi otentik (Abdul Mu’ti, 2019) untuk menumbuhkan pengertian, empati, dan respek terhadap mereka yang berbeda. 

Initiatives of Change  (IoFC ) Indonesia, suatu bagian dari gerakan global Initiatives of Change, yang berkomitmen membangun masyarakat damai dan inklusif melalui pendekatan kepercayaan, rekonsiliasi, dan kepemimpinan etis, berusaha ingin menjembatani masalah-masalah yang berakar dari perbedaan dan keragaman tersebut dengan menggunakan konsep Human Library. Dalam acaranya bertajuk “Circle of Peace and Healing” atau Lingkaran Perdamaian dan Penyembuhan pada hari Sabtu, 12 Juli 2025, IoFC Indonesia berkolaborasi dengan mitra-mitra strategis dalam isu perdamaian dan kemanusiaan, Sekolah Damai (SEKODI) Bandung, Yayasan Cahaya Guru, Jaringan Kerja Sama antar Umat Beragama (JAKATARUB) dengan dukungan dari Lokalate dan Nutrihub, Bandung. Tujuannya adalah menciptakan ruang aman untuk saling mendengar, menyembuhkan luka sosial, dan membangun kepercayaan lintas identitas, melalui cerita otentik yang dibagikan dari hati ke hati. Acara ini merupakan bagian dari proyek “Speak Up Conversation for Peace” yang menghadirkan teman-teman muda aktivis perdamaian dalam perjumpaan penuh makna untuk saling berbagi kisah. 

4 (empat) narasumber Human Library yang menjadi Living Books atau Buku Hidup dalam acara ini adalah Hobbie, mewakili SEKODI Bandung, Jocaste, mewakili JAKATARUB, Fawwaz mewakili Yayasan Cahaya Guru, dan Chintya, mewakili Creators of Peace (CoP) Bandung.  Dalam kesempatan acara tersebut, Miftahul Huda, Direktur Eksekutif IoFC Indonesia menjelaskan "Dalam suasana yang semakin kompleks, kita perlu memperbanyak ruang-ruang perjumpaan yang membangun empati dan saling percaya. Human Library adalah salah satu caranya,". 

Rangkaian Kisah Kemanusiaan

Seluruh narasumber  dalam acara Circle of Peace and Healing datang dengan keunikan dan kerentanan masing-masing, yang membuat mereka justru menjadi lebih berdaya dalam situasi perbedaan dan keragaman di Indonesia yang rentan dapat memicu terjadinya konflik. Cynthia, misalnya. Ia menggambarkan perjalanan penyembuhan diri dari luka batin akibat pengabaian emosional orang tua dan pengalaman traumatis masa kecil. Bergabungnya ia dalam Sekolah Rekonsiliasi dan Creator of Peace membuatnya belajar untuk menerima diri,memisahkan perasaan diri dari orang lain, serta menemukan damai dalam diri sendiri. Sementara itu, Fawwaz, seorang guru Agama Islam, juga Program Manager Yayasan Cahaya Guru, mengungkapkan perjuangannya mengangkat nilai-nilai keberagaman, kebangsaan, dan kemanusiaan melalui pendidikan dan media sosial, termasuk mengangkat suara-suara kelompok yang nyaris tidak didengar oleh publik mau pun pemerintah. Lebih mendalam lagi ketika Jocaste merasa menemukan keutuhan diri melalui proses mendengar diri sendiri dan orang lain untuk akhirnya sama-sama menciptakan ruang aman untuk keberagaman tanpa perlu syarat, serta merayakan keberagaman sekaligus mencintainya. Sementara itu, kisah Hobbie menggarisbawahi bahwa kerapuhan serta fleksibilitas terkait orientasi dan romantika kehidupan dapat hadir karena ragam pengalaman dan perasaan dengan berbagai daya tarik yang berasal dari nilai-nilai keberagaman itu sendiri yang nantinya akan membentuk rasa cinta kasih dan respek terhadap orang-orang yang kondisinya juga beragam. 

Para peserta diajak berkelompok, lalu berpindah untuk mendengarkan kisah-kisah para “buku” dari “human library” dalam rentang 15 menit serta diberi kesempatan untuk saling berinteraksi lewat pertanyaan dan diskusi singkat. Inilah yang membuat mereka semua menjadi lebih intens dan intim dalam interaksinya, tanpa khawatir adanya penilaian atau penghakiman karena setiap pengalaman tidak perlu mendapatkan validasi pembenaran atau salah. Konsep “human library” ini merupakan media yang dapat mendorong para peserta dan “buku hidup” untuk saling menyelami diri masing-masing sehingga setelahnya yang tertinggal hanyalah rasa respek dan memahami serta menumbuhkan empati satu sama lain.

(Peserta Bermain kartu Friends For LIfe By IofC Indonesia)

Apa Komentar Peserta Human Library?

Banyak yang menyebutkan bahwa mereka belum familiar dengan konsep “Human Library” atau Perpustakaan Manusia ini. Akan tetapi, pengalaman mereka untuk menyelami cerita-cerita manusia yang berbeda memperteguh rasa respek dan menghilangkan prasangka terhadap masing-masing “buku hidup”. Seperti cerita Jofran Suwandi, seorang mahasiswa, yang menyebutkan bahwa “Human Library” adalah suatu ide yang dapat merubuhkan tantangan dari bahasa tulisan karena dilakukan dengan komunikasi 2 (dua) arah yang luwes dan relatable, tanpa perlu melihat bungkus bukunya. Sementara itu, Nadya dari SEKODI Bandung, mengungkapkan bahwa komunikasi adalah kunci utama dalam menerima dan memahami keberagaman di sekitar melalui dialog yang jujur dan terbuka untuk sama-sama membuat ruang aman, sehingga tumbuh empati serta pembelajaran baru. Acara ini juga menarik perhatian Ahso, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri Bandung, yang menggarisbawahi menariknya setiap cerita seperti membuka bab kehidupan yang tidak pernah dibayangkan, serta menyadari bahwa setiap orang memiliki kisahnya sendiri untuk diceritakan. 

Human Library: Hilangkan Sekat Perbedaan

Acara Human Library: Circle of Peace & Healing mengajarkan bahwa kekuatan sebuah cerita mampu menembus sekat-sekat perbedaan yang selama ini memisahkan kita. Dalam setiap kisah yang dibagikan, tersimpan benih-benih pemahaman dan rasa saling percaya yang tumbuh melalui empati, bukan asumsi; melalui perjumpaan, bukan prasangka.

Zaman sekarang yang  kerap bising oleh opini dan konflik, ruang seperti ini menjadi sesuatu yang baru—sebuah pengingat bahwa kemanusiaan tidak terbangun dari keseragaman, melainkan dari keberanian untuk hadir, mendengarkan, dan mengakui luka satu sama lain tanpa menghakimi.

Lebih dari sekadar acara, Human Library adalah langkah kecil menuju perdamaian yang nyata: perdamaian yang lahir dari keberanian untuk terbuka, dan kerendahan hati untuk memahami bahwa dalam keberagaman, kita tetap terhubung sebagai sesama manusia.

(Miftahul Huda memfasilitasi Sesi Human Library)

Penulis : Fanny S. Alam