Wednesday, July 20, 2022

Sumber: Pexel.com

Cinta dapat membawa kita ke puncak suasana bahagia atau justru menjerumuskan kita ke dalam dasar jurang sengsara. Cinta sering berbuah duka secara tiba-tiba ketika yang dicinta raib dari mata, bisa karena maut, pergi tanpa pamit, atau kepergok menggandeng yang lain.

Robby (27) mengaku membutuhkan waktu sebulan berkutat dengan tikaman luka perasaan saat kekasih pertamanya ternyata lebih memilih jalan dengan pria lain. “Padahal, saya lagi sayang-sayangnya ama dia”, kata pria alumni sebuah kampus ternama itu.

Kita tentu mafhum bahwa perasaan sakit tersebut bukan hanya melanda Robby. Banyak orang pernah mengalami patah hati. Beberapa orang menjalani proses luka (mulai dari penyangkalan, marah hingga ikhlas menerima kondisi) seperti ini dengan cepat, sebagian lain lebih lambat, dan sejumlah yang lain malah terperangkap dalam jeratan lara, tanpa kejelasan kapan akan sirna.

Ketika patah hati, kebanyakan orang akan berada dalam kondisi kalut, bingung dan tak tahu hendak melakukan apa. Hal ini terjadi bukan karena semata kehilangan cinta, tetapi biasanya karena selama ini kita mengabaikan kebutuhan terdalam kita—dalam arti kita tidak tersambung dengan batin sendiri.

Ada sejumlah pertanyaan reflektif yang dapat kita ajukan ke dalam diri sebelum "memutuskan" untuk tenggelam dalam samudera luka. 

Apakah kita benar-benar mafhum mengapa kita menginginkan cinta, apakah kita menghendaki hubungan yang permanen atau hanya coba-coba, apa sebenarnya kebutuhan kita yang lebih mendasar daripada cinta, mengapa kita benar-benar ingin menjalin hubungan percintaan (sekadar pelarian atau benar-benar ingin hidup bersama), apakah kita mengetahui dengan rinci apa saja niat menjalin hubungan atau hanya secara umum saja seperti "aku ingin bahagia", apakah kita mencintai.

Seseorang karena kita ingin menggantungkan hidup, apakah kita dahaga dicintai karena sejak kecil kurang dicintai orang tua.
Kita harus memastikan bahwa kita sudah memahami diri sendiri sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan. Memulai hubungan dengan hati yang lega akan mempermudah kita dalam mengatasi ragam risiko di kemudian hari.

Ketika hati remuk karena putus cinta, kita akan berpikir bahwa tak ada hal lain yang lebih penting selain “dia”. Tulang iga terasa menghimpit, bernapas terasa sulit, dan dunia tampak gulita. Yang terlihat di pelupuk mata hanya orang yang sudah menawan hati kita, yang lalu mencampakkannya tanpa belas kasih.

Penulis buku “How to Fix a Broken Heart” (2018) Guy Winch mengatakan ada ironi dalam patah hati, yakni ketika putus cinta pikiran justru mengajak kita untuk mengingat rasa sakit tersebut. Menurutnya, ketika patah hati, pikiran justru memiliki agenda berbeda. Oleh karena itu, pikiran malah cenderung ingin menipu kita.

Jika ingin lekas pulih dari perih, dia menyarankan supaya kita memahami kapan kita perlu mempercayai apa yang pikiran katakan. Winch mengatakan pikiran selalu mengajak kita mengingat-ingat dia yang sudah menyakiti; padahal, seharusnya kita perlu menerima kenyataan dan berupaya move on.

Pikiran menginginkan hal tersebut karena ingin “melindungi” kita. Winch mencontohkan ketika jari kita terluka karena api, tugas pikiran adalah mengingatkan supaya kita tidak dekat-dekat dengan api lagi, untuk memastikan bahwa luka terbakar itu sangat menyakitkan. Semakin perih sayatan luka, semakin pikiran akan mengajak kita untuk mengingatnya, supaya kita tidak mengulangi hal serupa.

Karena patah hati benar membuat perasaan remuk redam, pikiran akan mengajak kita untuk berpikir bahwa:

1. Mantan adalah satu-satunya yang terbaik

Bayangan wajahnya, perhatiannya dan kualitas baik lainnya akan bergelayut sepanjang hari. Akan tetapi, tentu saja hal ini tidak realistis, bagaimana mungkin orang tersebut baik, sementara “pekerjaan utamanya” adalah menyakiti perasaan kita.

2. Bersamanya membuat kita bahagia selamanya

Tentu saja pikiran semacam itu adalah omong kosong. Tidak ada hubungan yang sempurna: pasti ada kekesalan, kecewa, saat-saat menyebalkan, atau percekcokan.

3. Kalau menghubunginya, kita akan merasa lebih baik

Dorongan untuk bertemu, berkirim SMS, menelpon atau menulis email akan sangat kuat. Akan tetapi, melakukan hal ini hanya akan membuat kita merasa butuh dan merana, harga diri pun bisa amblas.

4. Curhat ke teman akan menghapus luka

Menceritakan luka hanya akan berguna jika dilakukan dengan metode menyelesaikan masalah, atau kita mendapatkan validasi perasaan oleh lawan bicara. Akan tetapi, jika curhat hanya berkutat pada mengulang-ulang cerita kekesalan dan teman pun tak paham harus bagaimana, masalah bisa jadi malah bertambah.

5. Kita harus tahu alasan mengapa putus

Mendapatkan informasi yang valid mengapa kita diputus tentu sangat berguna. Akan tetapi, faktanya, lebih banyak orang yang tidak mendapatkan penjelasan yang gamblang dan jujur terkait hal tersebut. Menanyakan kepada orang yang membuat hati kita patah juga susah, terkadang malah mendapatkan penjelasan yang mengambang. Oleh sebab itu, Winch menyarankan untuk berpikir bahwa memang “kita bukan pasangan yang cocok baginya” atau “dia tak benar-benar mencintai kita.”

Kita adalah makhluk fisik, emosional, intelektual, mental dan spiritual. Apabila ada salah satu saja fakultas yang kita abaikan, artinya kita menghalangi proses harmonisasi antara fakultas-fakultas tersebut, sekaligus menghambat potensi diri berkembang sebagai manusia yang utuh.

Pasangan pun demikian, tak bisa dia hanya unggul secara intelektual, tetapi rupanya pandai menyakiti perasaan bahkan fisik. Atau, dia hanya mampu menjadi partner secara fisik, akan tetapi mental dan spiritualnya rapuh. 

Kita harus kuat pada lima elemen tersebut secara seimbang, demikian pula orang yang menjadi pasangan. Jika dia datang hanya untuk mencabik-cabik perasaan kita, mengapa takut untuk ucapkan selamat tinggal?

 

Penulis:

Dhuha Hadiyansyah

Dosen pada Universitas Al azhar Indonesia (UAI)

Board Member IofC Indonesia

Fasilitator Sekolah Rekonsiliasi

Editor:

Mela Rusnika