Ayah ASI
Saat memutuskan memberikan ASI (air susu ibu) ke anak, ibu sangat membutuhkan bantuan suami. Apalagi, jika anak yang harus disusui lebih dari satu, bisa karena kembar atau jarak anak yang sangat dekat.
Peran suami atau ayah bayi menjadi semakin dibutuhkan ketika keputusan untuk menyusui dua anak ‘tandem breastfeeding’ atau tandem nursing diambil.
Dari sisi eksternal, keberterimaan menyusui tandem untuk anak yang lahir dengan jarak yang dekat belum begitu populer dalam budaya di Indonesia. Tak jarang, seorang ibu yang memutuskan menyusui dua bayi sekaligus akan mendapatkan kritikan tajam dari orang-orang terdekat seperti ibu, mertua, sanak-saudara serta tetangga.
Oleh sebab itu, perempuan yang memutuskan menyusui tandem memerlukan dukungan yang kuat dari suami, atau dalam parenting kerap di sebut Ayah ASI.
Menyusui itu tidak mudah, tetapi juga tidak susah. Kerjasama dengan pasangan sangat menentukan kualitas proses menyusui. Menjadi ibu ASI dan ayah ASI bukan hal remeh-temeh. Kerjasama dan komunikasi keduanya sangat penting untuk terus dijaga.
Setiap anak berhak mendapatkan asupan gizi dan kasih sayang yang penuh dari orang tuanya secara adil. Istri bersama saya mengali sendiri hal ini. Saat adiknya lahir, anak pertama saya berusia 13 bulan. Istri saya memutuskan tidak akan menyapih sampai anak siap.
Tetapi usaha yang kami lakukan tidak lepas dari komentar orang-orang di sekitar kami. Sebagian besar mereka menyuruh kami menyapih anak pertama. Padahal, dokter mengatakan oke; istri saya memiliki kondisi yang prima dan ASI-nya pun cukup untuk berdua. Dia hanya perlu menjaga asupan nutrisi.
Dihadapkan pada desakan untuk menyapih anak pertama dari anggota keluarga besar, istri bakal berada di posisi sulit. Perlu bantuan suami untuk menjelaskan kepada keluarga tentang kesiapan mengambil tantangan untuk menyusui tandem.
Di masyarakat memang ada banyak mitos tentang menyusui tandem, dan ini harus diluruskan. Misalnya, si adik akan kalah, si kakak tidak akan belajar mandiri, ASI sudah tidak ada gizinya buat si kakak dan lain-lain. Hanya ahli medis yang bisa memutuskan ini, bukan atas dasar prasangka. Di sini peran dan dukungan suami menjadi semakin penting untuk dapat membantu menjelaskan situasi kepada keluarga besar dan orang sekitar.
Dari sisi internal, harus ada diskusi ulang tentang pembagian peran dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bagi mereka yang tidak memiliki PRT, peran ayah atau suami menjadi lebih dibutuhkan lagi. Menyusui itu membutuhkan waktu dan tenaga ekstra, jadi tanpa dukungan suami, menyusui tandem hampir mustahil berjalan mulus.
Situasi yang dihadapi setiap pasangan berbeda-beda. Berdasarkan yang saya alami, beberapa pekerjaan yang dapat diambil alih oleh suami dengan istri yang menyusui tandem antara lain:
1. Belanja
Belanja kebutuhan pokok membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Kebutuhan pokok di sini meliputi kebutuhan konsumsi seperti bahan makan sehari-hari (sembako) dan kebutuhan lain seperti popok, sabun, dan barang rumah tangga yang lain.
Anda yang belum pernah ke pasar atau tukang sayur untuk berbelanja mungkin agak berat, karena takut mendapat stigma buruk dari orang lain. Percayalah bahwa saat ini tidak akan ada seorang pun yang akan merundung atau mem-bully Anda.
Saya masih ingat dulu saat belum menikah di kampung. Ibu meminta saya membeli cabai di warung tetangga. Seorang tetangga ibu saya bertanya, “Ibumu lagi sakit?!”
“Lagi masak.”
“Lain kali jangan mau disuruh beli cabai, kecuali ibumu sudah gak kuat jalan. Kamu ini kalau tidak sekolah, pasti sudah punya anak. Kok masih disuruh beli cabai!”
Itu situasi di kampung saya dulu sekitar 8 tahun yang lalu. Akan tetapi, ketika di Jakarta persepsi itu sepertinya berbalik.
“Bapak-bapak jaman now ya, rajin sekali,” kata ibu-ibu kepada saya saat berbelanja sayur dan ikan sambil menggendong anak pertama.
2. Masak
Bagi ibu yang menyusui tandem, memasak adalah aktivitas yang cukup melelahkan dan memakan waktu. Berbahaya pula di dapur bersama bayi. Jadi, ayah ASI perlu mengambil tugas ini, untuk meringankan beban istri.
Pagi adalah waktu yang sangat menantang bagi ibu yang menyusui tandem. Tidak semata-mata terkait banyaknya aktivitas di pagi hari, tetapi biasanya ibu menyusui juga kurang tidur, jadi staminanya pasti kedodoran.
Namun, sebagian pria menolak memasak dengan alasan tidak bisa. Ini adalah alasan yang mengada-ada. Setiap orang pasti bisa memasak. Yang menjadi masalah adalah ketika rasa masakan tangan amatiran dibandingkan dengan masakan seorang koki.
Tak perlu menjadi koki untuk dapat memasak. Jika tidak tahu, Anda cukup buka Google ingin masak apa. Jika masih kurang mengerti dengan membaca resep, Anda dapat buka Youtube dan melihat cara masak secara langsung.
Kemauan untuk memasak demi keluarga adalah soal kehendak. Kukuhkan niat untuk memasak demi keluarga, sebelum Anda berangkat ke kantor. Lagipula, kalau mau bicara tentang hak dan kewajiban dalam hukum agama (Islam), memasak adalah kewajiban suami.
3. Mengurus anak
Anak adalah buah cinta bersama, jadi mengurusnya pun harus berbagi. Kalau perlu, sebelum anak lahir, pasangan suami-istri harus sudah mengetahui cara memandikan dan mengganti popok anak.
Pengetahuan ini lebih signifikan lagi jika anak terlahir kembar atau dengan jarak yang dekat. Pasalnya, istri bakal lebih membutuhkan bantuan untuk mengasuh anak.
Aktivitas seperti memandikan, memakaikan baju atau bermain dengan anak adalah cara yang sangat efektif untuk dekat dengan anak. Kalau bisa, seminimal mungkin diserahkan ke orang lain.
Selebihnya, pekerjaan rumah tangga yang lain seperti bersih-bersih dan mencuci perlu didiskusikan dengan istri. Jika istri keberatan dan suami tidak bisa melakukannya, tidak perlu segan untuk mempekerjakan pembantu. Fokus untuk mengurus anak jauh lebih penting ketimbang mengurus pekerjaan rumah tangga seperti mencuci atau menyeterika.
Setiap anak mengalami proses perjalanan ruh yang tidak mudah di alam rahim. Lalu mereka terlahir di alam dunia yang juga tak sepi dari rintangan. Kelahirannya di dunia ini akan menjadi fase yang melelahkan batinnya jika orang tua tidak memenuhi kebutuhannya.
Pada setiap proses perjalanan hidup yang yang dilewati anak, orang tua musti berada di samping untuk melindunginya, dan ini membutuhkan keterlibatan kedua orang tua secara seimbang.
Dhuha Hadiansyah, Sekolah Rekonsiliasi